Sejarah Manajemen: Hubungan Manusiawi 1930 – 1940
October 25, 2015 Posted by admin
Hubungan Manusiawi 1930 – 1940
Pelopornya adalah Hawthorn studies, Elton Mayo, Fritz
Roethlisberger, dan Hugo Munsterberg. Teori hubungan manusia adalah teori yang menggambarkan
cara-cara bagaimana manajer berhubungan dengan bawahannya. Aliran ini muncul
karena manajer mendapati bahwa pendekatan klasik tidak dapat dicapai dengan
keserasian sempurna. Masih terdapat kesulitan di mana bawahan tidak selalu
mengikuti pola tingkah laku yang rasional dan dapat diduga. Perlu ada upaya
untuk meningkatkan hubungan antar manusia agar organisasi lebih efektif. Aliran
ini untuk memperkuat aliran klasik, yaitu dengan menambahkan wawasan sosial dan
psikologi. Kalau „manajemen manusia‟ mendorong kerja yang lebih baik dan lebih
keras, itu berarti hubungan antar manusia dalam organisasi itu baik. Hawthorn
studies mengatakan yang penting diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas
adalah faktor perilaku manusia dan sosial. Pekerja akan bekerja lebih keras
kalau mereka yakin bahwa supervisor memberi perhatian kepada mereka. Sejalan
dengan Hawthorn studies, menurut Hugo Munstenberg, produktifitas dapat
ditingkatkan dengan 3 jalan: 1. Menemukan orang yang terbaik. 2. Menciptakan
kondisi psikologis dan pekerjaan yang terbaik. 3. Menggunakan pengaruh
psikologis untuk mendorong karyawan.
Hugo Munsterberg (1863-1916)
Munsterberg yang melahirkan psikologi industri, sering
disebut sebagai bapak psikologi industri. Sumbangan yang penting adalah berupa
pemanfaatan psikologi untuk mewujudkan tujuan-tujuan pro duktivitas seperti
juga teori-teori manajemen lainnya. Penerapan faktor-faktor psikologi dalam
membantu peningkatan produksi. Melalui bukunya dengan judul Psychology and
Industrial Efficiensy, Munsterberg menyarankan 3 (tiga) cara untuk meningkatkan
produktivitas yaitu : 1. Mendapatkan orang/karyawan terbaik (best possible
person), yang paling sesuai/cocok dengan pekerjaan yang akan dikerjakan.
2. Menciptakan kondisi kerja yang terbaik (best possible
work), yang memenuhi syarat-syarat psikologis untuk memaksimalkan
produktivitas. 3. Menggunakan pengaruh psikologis guna memperoleh dampak yang
paling tepat dalam memotiovasi karyawan (best possible effect).
Elton Mayo (1880-1949)
Ia terkenal dengan eksperimen tentang perilaku manusia dalam
situasi kerja. Eksperimen ini disimpulkan bahwa perhatian khusus dapat
menyebabkan seseorang meningkatkan usahanya. Gejala ini disebut Hawrthorne
effect yaitu karyawan akan lebih giat bekerja jika mereka yakin bahwa manajemen
memikirkan kesejahteraan mereka. Hasil percobaan Mayo dengan Roethlisberger dan
Dickson ialah rangsangan uang tidak menyebabkan membaiknya produktivitas. Yang
justru mampu meningkatkan produktivitas itu adalah satu sikap yang dimiliki karyawan
yang merasa manajer dan atasanya memberkan perhatian yang cukup terhadap
kesejahteraan mereka. Selain itu juga ditemukan pengaruh kehidupan lingkungan
sosial dalam kelompok yang lebih informal lebih besar pengaruhnya terhadap
produktivitas. Karena itu, Mayo yakin terhadap konsepsinya yang terkenal dengan
social man yang dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan sosial dalam
hubungan-hubungan yang lebih efektif daripada pengawasan dan pengendalian
manajemen dalam arti konsep social man (manusia sosial/manusia dapat dimotivasi
dengan pemenuhan kebutuhan sosial melalui hubungan kerja), dapat menggantikan
konsep rational man (manusia rasional/manusia hanya dapat di motivasi dengan
pemenuhan kebutuhan ekonomis). Konsep rational man yang di dorong semata-mata
oleh kebutuhan ekonomis pribadi yang terkenal dengan julukan rational economic
man.
Istilah terkenal yang
tadinya diutarakan oleh Robert Owen yaitu vital machines menemukan bentuk dan
peluang barunya dengan munculnya konsep social man dari Mayo. Dalam pendidikan
dan latihan bagi para manajer terasa semakin pentingnya people management
skills dari pada engineering atau technical skills. Konsep dinamika kelompok
semakin penting dalam praktek manajemen dari pada manajemen atas dasar
kemampuan pekerja secara perseorangan. Kelemahan temuan Mayo ditunjukan oleh
orang-orang yang beranggapan kepuasan karyawan bersifat kompleks, karena selain
ditentukan oleh lingkungan sosial, juga oleh faktor-faktor lain seperti tingkat
gaji, menarik tidaknya pekerjaan, struktur dan kultur organisasi, hubungan
karyawan manajemen dan lain-lain. Menghadapi keterbatasan gerakan hubungan
manusiawi ini, muncul pemikir-pemikir lain yang juga tergolong aliran perilaku
yang lebih maju.
Fritz Jules Roethlisberger (1898 – 1974)
Fritz Jules Roethlisberger (1898 – 1974) adalah seorang
ilmuwan sosial, manajemen teori, dan Profesor Hubungan Manusia Wallace Brett
Donham di Harvard Business School. Roethlisberger meraih BA di bidang teknik
dari Universitas Columbia pada tahun 1921, BS dalam administrasi teknik dari
Massachusetts Institute of Technology pada tahun 1922, dan MA dalam filsafat
dari Universitas Harvard pada tahun 1925. Roethlisberger memegang posisi
sebagai berikut di Harvard Business School : Instructor Riset Industri,
1927-1930; Asisten Profesor Riset Industri, 1930-1938; Associate Professor
Riset Industri, 1938-1946; dan Wallace Brett Donham Profesor Hubungan Manusia,
1950-1974. Pada tahun 1937, Roethlisberger dan WJ Dickson menerbitkan temuan
komprehensif pertama dari percobaan Hawthorne . Dia juga menulis Management and
the Worker pada tahun 1939. Buku itu sebagai buku manajemen paling berpengaruh
sepersepuluh dari abad ke-20 dalam jajak pendapat dari Fellows dari Akademi
Manajemen . Mayo, Fritz J. Roethlisberger dan William J. Dickson mengadakan
penelitian bersama di pabrik Howthome milik perusahaan Western Electric.
Percobaan pertama meneliti pengaruh kondisi penerangan terhadap produktivitas.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bila kondisi penerangan naik, maka
produktivitas juga akan naik, bila kondisi penerangan dikurangi ternyata
produktivitas juga akan berkurang. Percobaan kedua di mana bila kelompok yang
terdiri dari enam orang dipisahkan dalam ruangan yang terpisah, di mana ruang
pertama atau sebut saja A kondisinya diubah setiap waktu, sedang ruangan
lainnya yaitu B tidak mengalami perubahan. Variabel yang dirubah seperti upah,
jam istirahat, jam makan, hari kerja dan sebagainya/ dari hasil penelitian
ternyata kedua kondisi tersebut mengalami kenaikan produktivitas, perhatian
khusus dan simpatik sangat berpengaruh, fenomena ini dikenal sebagai Howthorne
Effect. Penelitian lainnya yaitu kelompok kerja informal-lingkungan sosial
karyawan signifikan terhadap produktivitas. Konsep makhluk sosial dimotivasi
kebutuhan sosial, keinginan akan hubungan timbal balik dalam pekerjaan dan
lebih responsif terhadap dorongan kelompok kerja, pengawasan manajemen telah
menggantikan konsep “makhluk rasional” yang dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan
fisik manusia.
The Howthoren Studies
Terlibatnya perusahaan-perusahaan tingkat korporasi dalam
mensistesa pengetahuan yang berbasis empiris (studi lapangan) kemudian
dilakukan dengan riset secara ilmiah (kuantitatif) menghasilkan suatu
pendekatan ilmu pengetahuan baru. Adalah perusahaan Western Electric di
Hothorne antara tahun 1927-1932 melakukan studi yang dilakukan oleh beberapa
insinyur industri disana yang mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat
penerangan (lampu) terhadap produktifitas kerja. Studi ini terdiri dari dua
eksperimen, pertama dilakukan bagi kelompok kerja yang memperoleh manipulasi
atas penerangan ditempat kerjanya. Sedangkan eksperimen kedua dilakukan bagi
kelompok kerja yang memasang telepon di bank-bank. Eksperimen pertama dilakukan
dengan menempatkan dua kelompok kedalam dua ruangan yang berbeda-beda. Satu
ruangan memperoleh penerangan yang tetap, dimana kondisi lampu dan
pencahayaannya tetap. Ruangan kedua yang berisi kelompok kerja kedua mendapakan
penerangan (lampu) yang berubah-ubah. Para peneliti yang kemudian di bantu oleh
Elthon Mayo membuat eksperimen dengan mengubah tingkat penerangan atau nyala
lampu di ruang kedua. Ternyata hasil akhir dari percobaan tersebut adalah
terdapat perbedaan tingkat produktifitas yang berbeda antara satu kelompok yang
mendapat pencahayaan tetap dengan kelompok yang mendapat penerangan yang
berubah-ubah. Kelompok yang mendapat pencahayaan yang berubah-ubah ternyata
memiliki tingkat produktifitas yang lebih baik dari pada kelompok yang mendapat
cahaya lampu secara tetap. Setelah dikaji lebih dalam ternyata produktifitas
tersebut ditentukan bukan oleh nyala lampu yang diberikan akan tetapi adanya
persaan diawasi dan merasa di perhatikan dalam proses bekerja bagi kelompk
tersebut. Eksperimen kedua dilakukan terhadap sembilan orang pekerja yang diberi
tugas untuk memasang sambungan telepon di bank yang lokasinya berbeda-beda.
Setiap pekerja akan diberi insentif yang lebih jika mampu memasangkan sambungan
telepon lebih banyak. Artinya semakin banyak sambungan telepon yang dihasilkan
akan semakin tinggi pula insentif yang diberikan kepada pekerja. Ternyata hasil
dari penelitian tersebut menyimpulkan para pekerja seolah-olah tidak memerlukan
insentif yang ditawarkan, dan mereka seolah-olah memiliki kesepakatan mengenai
jumlah sambungan telepon yang harus dipasang oleh masing-masing pekerja. Mereka
sendiri seolah-olah memiliki angapan bahwa mereka yang berlebihan dalam
memasang sambungan telepon sebagai ”tidak kompak” dan ”ingin menonjolkan diri”
sehingga masing-masing dari mereka memasang sambungan telepon dengan jumlah
yang hampir sama. Studi Howthorne merupakan salah satu dari sekian banyak studi
yang memfokuskan diri terhadap aspek perilaku manusia dalam manajamen
(organisasi). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata pemberian
insentif dan juga nyala lampu atau penerangan tidak menentukan produktifitas
para pekerja. Akan tetapi adanya perlakuan yang sama oleh manajer serta
perhatian khusus yang akan menentukan produktifitas para pekerja. Tentu tidak
berarti bahwa mereka tidak memerlukan upah atau insentif
atau penerangan yang cukup dalam bekerja akan tetap perhatian dan penerimaan
sosial rupanya menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku mereka dalam bekerja
pada organisasi daripada faktor insentif dan faktor individu.
Sumbangan aliran hubungan manusiawi (human behavior). Aliran
hubungan manusiawi menyadarkan pentingnya kebutuhan sosial. Dengan demikian
aliran ini menyeimbangkan konsep lama yang menekankan ekonomi/rasionalitas
manusia. Suasana kerja menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Pelatihan-pelatihan yang kemudian banyak yang memfokuskan pada upaya
memperbaiki hubungan kerja antar manajer dengan karyawan. Aliran ini
mempelopori studi baru dalam bidang dinamika kelompok, dimana perhatian
ditunjukan tidak hanya pada individu, tetapi juga pada proses dan dinamika
kelompok.
Keterbatasan aliran perilaku/human behavior/behavior school
Meskipun demikian ada beberapa keterbatasan teori ini. Disain, metoda dan
analisis penelitian yang dilakukan oleh Mayo sampai saat ini masih menjadi kontroversi.
Konsep manusia sosial yang dikembangkan ternyata tidak menjelaskan sepenuhnya
perilaku manusia. Usaha perbaikan-perbaikan kondisi kerja ternyata tidak mampu
menaikkan prestasi kerja. Sebagai contoh, perbaikan kondisi kerja disuatu
perkebunan, tidak menaikan prestasi kerja, malah cenderung menurunkan prestasi
kerja karena pekerja cenderung menjadi lebih santai dalam kerja. Tidak ada
tekanan untuk bekerja keras seperti sebelumnyaTentunya ada faktor lain, selain
faktor sosial, yang mendorong prestasi kerja. Faktor ekonomi (gaji), kemampuan
kerja karyawan, budaya, dan struktur organisasi, serta banyak faktor lain
mempengaruhi prestasi kerja karyawan. Aliran hubungan manusia belum mampu
melakukan prediksi perilaku manusia dengan akurat. Suatu hal yang dapat
dimengerti karena faktor sosial merupakan hasil emosi manusia yang lebih sulit
diukur. Contoh lain, kepuasan kerja sering dikatakan sebagai pendorong prestasi
kerja. Tetapi hubungan tersebut diragukan bahkan logika sebaliknya tampaknya
lebih kuat : prestasi kerja akan menyebabkan kepuasan kerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar