Cool Blue Outer Glow Pointer

Sabtu, 11 Juni 2016

PTA KELOMPOK 5


Sejarah Manajemen: Hubungan Manusiawi 1930 – 1940
October 25, 2015 Posted by admin 
Hubungan Manusiawi 1930 – 1940
Pelopornya adalah Hawthorn studies, Elton Mayo, Fritz Roethlisberger, dan Hugo Munsterberg. Teori hubungan manusia adalah teori yang menggambarkan cara-cara bagaimana manajer berhubungan dengan bawahannya. Aliran ini muncul karena manajer mendapati bahwa pendekatan klasik tidak dapat dicapai dengan keserasian sempurna. Masih terdapat kesulitan di mana bawahan tidak selalu mengikuti pola tingkah laku yang rasional dan dapat diduga. Perlu ada upaya untuk meningkatkan hubungan antar manusia agar organisasi lebih efektif. Aliran ini untuk memperkuat aliran klasik, yaitu dengan menambahkan wawasan sosial dan psikologi. Kalau „manajemen manusia‟ mendorong kerja yang lebih baik dan lebih keras, itu berarti hubungan antar manusia dalam organisasi itu baik. Hawthorn studies mengatakan yang penting diperhatikan untuk meningkatkan produktifitas adalah faktor perilaku manusia dan sosial. Pekerja akan bekerja lebih keras kalau mereka yakin bahwa supervisor memberi perhatian kepada mereka. Sejalan dengan Hawthorn studies, menurut Hugo Munstenberg, produktifitas dapat ditingkatkan dengan 3 jalan: 1. Menemukan orang yang terbaik. 2. Menciptakan kondisi psikologis dan pekerjaan yang terbaik. 3. Menggunakan pengaruh psikologis untuk mendorong karyawan.
Hugo Munsterberg (1863-1916)
Munsterberg yang melahirkan psikologi industri, sering disebut sebagai bapak psikologi industri. Sumbangan yang penting adalah berupa pemanfaatan psikologi untuk mewujudkan tujuan-tujuan pro duktivitas seperti juga teori-teori manajemen lainnya. Penerapan faktor-faktor psikologi dalam membantu peningkatan produksi. Melalui bukunya dengan judul Psychology and Industrial Efficiensy, Munsterberg menyarankan 3 (tiga) cara untuk meningkatkan produktivitas yaitu : 1. Mendapatkan orang/karyawan terbaik (best possible person), yang paling sesuai/cocok dengan pekerjaan yang akan dikerjakan.
2. Menciptakan kondisi kerja yang terbaik (best possible work), yang memenuhi syarat-syarat psikologis untuk memaksimalkan produktivitas. 3. Menggunakan pengaruh psikologis guna memperoleh dampak yang paling tepat dalam memotiovasi karyawan (best possible effect).
Elton Mayo (1880-1949)
Ia terkenal dengan eksperimen tentang perilaku manusia dalam situasi kerja. Eksperimen ini disimpulkan bahwa perhatian khusus dapat menyebabkan seseorang meningkatkan usahanya. Gejala ini disebut Hawrthorne effect yaitu karyawan akan lebih giat bekerja jika mereka yakin bahwa manajemen memikirkan kesejahteraan mereka. Hasil percobaan Mayo dengan Roethlisberger dan Dickson ialah rangsangan uang tidak menyebabkan membaiknya produktivitas. Yang justru mampu meningkatkan produktivitas itu adalah satu sikap yang dimiliki karyawan yang merasa manajer dan atasanya memberkan perhatian yang cukup terhadap kesejahteraan mereka. Selain itu juga ditemukan pengaruh kehidupan lingkungan sosial dalam kelompok yang lebih informal lebih besar pengaruhnya terhadap produktivitas. Karena itu, Mayo yakin terhadap konsepsinya yang terkenal dengan social man yang dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan sosial dalam hubungan-hubungan yang lebih efektif daripada pengawasan dan pengendalian manajemen dalam arti konsep social man (manusia sosial/manusia dapat dimotivasi dengan pemenuhan kebutuhan sosial melalui hubungan kerja), dapat menggantikan konsep rational man (manusia rasional/manusia hanya dapat di motivasi dengan pemenuhan kebutuhan ekonomis). Konsep rational man yang di dorong semata-mata oleh kebutuhan ekonomis pribadi yang terkenal dengan julukan rational economic man.
 Istilah terkenal yang tadinya diutarakan oleh Robert Owen yaitu vital machines menemukan bentuk dan peluang barunya dengan munculnya konsep social man dari Mayo. Dalam pendidikan dan latihan bagi para manajer terasa semakin pentingnya people management skills dari pada engineering atau technical skills. Konsep dinamika kelompok semakin penting dalam praktek manajemen dari pada manajemen atas dasar kemampuan pekerja secara perseorangan. Kelemahan temuan Mayo ditunjukan oleh orang-orang yang beranggapan kepuasan karyawan bersifat kompleks, karena selain ditentukan oleh lingkungan sosial, juga oleh faktor-faktor lain seperti tingkat gaji, menarik tidaknya pekerjaan, struktur dan kultur organisasi, hubungan karyawan manajemen dan lain-lain. Menghadapi keterbatasan gerakan hubungan manusiawi ini, muncul pemikir-pemikir lain yang juga tergolong aliran perilaku yang lebih maju.
Fritz Jules Roethlisberger (1898 – 1974)
Fritz Jules Roethlisberger (1898 – 1974) adalah seorang ilmuwan sosial, manajemen teori, dan Profesor Hubungan Manusia Wallace Brett Donham di Harvard Business School. Roethlisberger meraih BA di bidang teknik dari Universitas Columbia pada tahun 1921, BS dalam administrasi teknik dari Massachusetts Institute of Technology pada tahun 1922, dan MA dalam filsafat dari Universitas Harvard pada tahun 1925. Roethlisberger memegang posisi sebagai berikut di Harvard Business School : Instructor Riset Industri, 1927-1930; Asisten Profesor Riset Industri, 1930-1938; Associate Professor Riset Industri, 1938-1946; dan Wallace Brett Donham Profesor Hubungan Manusia, 1950-1974. Pada tahun 1937, Roethlisberger dan WJ Dickson menerbitkan temuan komprehensif pertama dari percobaan Hawthorne . Dia juga menulis Management and the Worker pada tahun 1939. Buku itu sebagai buku manajemen paling berpengaruh sepersepuluh dari abad ke-20 dalam jajak pendapat dari Fellows dari Akademi Manajemen . Mayo, Fritz J. Roethlisberger dan William J. Dickson mengadakan penelitian bersama di pabrik Howthome milik perusahaan Western Electric. Percobaan pertama meneliti pengaruh kondisi penerangan terhadap produktivitas. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bila kondisi penerangan naik, maka produktivitas juga akan naik, bila kondisi penerangan dikurangi ternyata produktivitas juga akan berkurang. Percobaan kedua di mana bila kelompok yang terdiri dari enam orang dipisahkan dalam ruangan yang terpisah, di mana ruang pertama atau sebut saja A kondisinya diubah setiap waktu, sedang ruangan lainnya yaitu B tidak mengalami perubahan. Variabel yang dirubah seperti upah, jam istirahat, jam makan, hari kerja dan sebagainya/ dari hasil penelitian ternyata kedua kondisi tersebut mengalami kenaikan produktivitas, perhatian khusus dan simpatik sangat berpengaruh, fenomena ini dikenal sebagai Howthorne Effect. Penelitian lainnya yaitu kelompok kerja informal-lingkungan sosial karyawan signifikan terhadap produktivitas. Konsep makhluk sosial dimotivasi kebutuhan sosial, keinginan akan hubungan timbal balik dalam pekerjaan dan lebih responsif terhadap dorongan kelompok kerja, pengawasan manajemen telah menggantikan konsep “makhluk rasional” yang dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan fisik manusia.
The Howthoren Studies
Terlibatnya perusahaan-perusahaan tingkat korporasi dalam mensistesa pengetahuan yang berbasis empiris (studi lapangan) kemudian dilakukan dengan riset secara ilmiah (kuantitatif) menghasilkan suatu pendekatan ilmu pengetahuan baru. Adalah perusahaan Western Electric di Hothorne antara tahun 1927-1932 melakukan studi yang dilakukan oleh beberapa insinyur industri disana yang mempelajari pengaruh berbagai macam tingkat penerangan (lampu) terhadap produktifitas kerja. Studi ini terdiri dari dua eksperimen, pertama dilakukan bagi kelompok kerja yang memperoleh manipulasi atas penerangan ditempat kerjanya. Sedangkan eksperimen kedua dilakukan bagi kelompok kerja yang memasang telepon di bank-bank. Eksperimen pertama dilakukan dengan menempatkan dua kelompok kedalam dua ruangan yang berbeda-beda. Satu ruangan memperoleh penerangan yang tetap, dimana kondisi lampu dan pencahayaannya tetap. Ruangan kedua yang berisi kelompok kerja kedua mendapakan penerangan (lampu) yang berubah-ubah. Para peneliti yang kemudian di bantu oleh Elthon Mayo membuat eksperimen dengan mengubah tingkat penerangan atau nyala lampu di ruang kedua. Ternyata hasil akhir dari percobaan tersebut adalah terdapat perbedaan tingkat produktifitas yang berbeda antara satu kelompok yang mendapat pencahayaan tetap dengan kelompok yang mendapat penerangan yang berubah-ubah. Kelompok yang mendapat pencahayaan yang berubah-ubah ternyata memiliki tingkat produktifitas yang lebih baik dari pada kelompok yang mendapat cahaya lampu secara tetap. Setelah dikaji lebih dalam ternyata produktifitas tersebut ditentukan bukan oleh nyala lampu yang diberikan akan tetapi adanya persaan diawasi dan merasa di perhatikan dalam proses bekerja bagi kelompk tersebut. Eksperimen kedua dilakukan terhadap sembilan orang pekerja yang diberi tugas untuk memasang sambungan telepon di bank yang lokasinya berbeda-beda. Setiap pekerja akan diberi insentif yang lebih jika mampu memasangkan sambungan telepon lebih banyak. Artinya semakin banyak sambungan telepon yang dihasilkan akan semakin tinggi pula insentif yang diberikan kepada pekerja. Ternyata hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan para pekerja seolah-olah tidak memerlukan insentif yang ditawarkan, dan mereka seolah-olah memiliki kesepakatan mengenai jumlah sambungan telepon yang harus dipasang oleh masing-masing pekerja. Mereka sendiri seolah-olah memiliki angapan bahwa mereka yang berlebihan dalam memasang sambungan telepon sebagai ”tidak kompak” dan ”ingin menonjolkan diri” sehingga masing-masing dari mereka memasang sambungan telepon dengan jumlah yang hampir sama. Studi Howthorne merupakan salah satu dari sekian banyak studi yang memfokuskan diri terhadap aspek perilaku manusia dalam manajamen (organisasi). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata pemberian insentif dan juga nyala lampu atau penerangan tidak menentukan produktifitas para pekerja. Akan tetapi adanya perlakuan yang sama oleh manajer serta perhatian khusus yang akan menentukan produktifitas para pekerja. Tentu tidak
berarti bahwa mereka tidak memerlukan upah atau insentif atau penerangan yang cukup dalam bekerja akan tetap perhatian dan penerimaan sosial rupanya menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku mereka dalam bekerja pada organisasi daripada faktor insentif dan faktor individu.
Sumbangan aliran hubungan manusiawi (human behavior). Aliran hubungan manusiawi menyadarkan pentingnya kebutuhan sosial. Dengan demikian aliran ini menyeimbangkan konsep lama yang menekankan ekonomi/rasionalitas manusia. Suasana kerja menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Pelatihan-pelatihan yang kemudian banyak yang memfokuskan pada upaya memperbaiki hubungan kerja antar manajer dengan karyawan. Aliran ini mempelopori studi baru dalam bidang dinamika kelompok, dimana perhatian ditunjukan tidak hanya pada individu, tetapi juga pada proses dan dinamika kelompok.
Keterbatasan aliran perilaku/human behavior/behavior school Meskipun demikian ada beberapa keterbatasan teori ini. Disain, metoda dan analisis penelitian yang dilakukan oleh Mayo sampai saat ini masih menjadi kontroversi. Konsep manusia sosial yang dikembangkan ternyata tidak menjelaskan sepenuhnya perilaku manusia. Usaha perbaikan-perbaikan kondisi kerja ternyata tidak mampu menaikkan prestasi kerja. Sebagai contoh, perbaikan kondisi kerja disuatu perkebunan, tidak menaikan prestasi kerja, malah cenderung menurunkan prestasi kerja karena pekerja cenderung menjadi lebih santai dalam kerja. Tidak ada tekanan untuk bekerja keras seperti sebelumnyaTentunya ada faktor lain, selain faktor sosial, yang mendorong prestasi kerja. Faktor ekonomi (gaji), kemampuan kerja karyawan, budaya, dan struktur organisasi, serta banyak faktor lain mempengaruhi prestasi kerja karyawan. Aliran hubungan manusia belum mampu melakukan prediksi perilaku manusia dengan akurat. Suatu hal yang dapat dimengerti karena faktor sosial merupakan hasil emosi manusia yang lebih sulit diukur. Contoh lain, kepuasan kerja sering dikatakan sebagai pendorong prestasi kerja. Tetapi hubungan tersebut diragukan bahkan logika sebaliknya tampaknya lebih kuat : prestasi kerja akan menyebabkan kepuasan kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar