Cool Blue Outer Glow Pointer

Senin, 13 Juni 2016

PTA KELOMPOK 7


Teori Struktural Fungsional
ASUMSI DASAR
Teori fungsionalisme struktural adalah suatu bangunan teori yang paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang. Tokoh-tokoh yang pertama kali mencetuskan fungsional yaitu August Comte, Emile Durkheim dan Herbet Spencer. Pemikiran structural fungsional sangat dipengaruhi oleh pemikiran biologis yaitu menganggap masyarakat sebagai organisme biologis yaitu terdiri dari organ-organ yang saling ketergantungan, ketergantungan tersebut merupakan hasil atau konsekuensi agar organisme tersebut tetap dapat bertahan hidup. Sama halnya dengan pendekatan lainnya pendekatan structural fungsional ini juga bertujuan untuk mencapai keteraturan sosial.
Teori struktural fungsional ini awalnya berangkat dari pemikiran Emile Durkheim, dimana pemikiran Durkheim ini dipengaruhi oleh Auguste Comte dan Herbert Spencer. Comte dengan pemikirannya mengenai analogi organismik kemudian dikembangkan lagi oleh Herbert Spencer dengan membandingkan dan mencari kesamaan antara masyarakat dengan organisme, hingga akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut dengan requisite functionalism, dimana ini menjadi panduan bagi analisa substantif Spencer dan penggerak analisa fungsional. Dipengaruhi oleh kedua orang ini, studi Durkheim tertanam kuat terminology organismik tersebut. Durkheim mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian bagian yang dibedakan.

FUNGSIONALISME STRUKTURAL
Ø  Robert K. Merton
Robert K. Merton, (4 Juli 1910 - 23 Februari 2003) Sosiolog asal Amerika ini mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya yang telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas serta seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas mengenai teori-teori fungsionalisme. Ia mengakui bahwa pendekatan ini telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis, ia juga mengakui bahwa fungsionalisme struktural mungkin tidak akan mampu mengatasi seluruh masalah sosial. Pada saat yang sama Merton tetap sebagai pelindung setia dari analisa fungsional, yang dinyatakannya mampu melahirkan ”suatu masalah yang saya anggap menarik dan cara berfikir yang saya anggap lebih efektif dibanding dengan cara berfikir lain yang pernah saya temukan”. (Merton, 1975: 30)
Model analisis fungsional Merton merupakan hasil perkembangan pengetahuannya yang menyeluruh tentang ahli-ahli teori klasik yang menggunakan penulis besar seperti Max Weber. Pengaruh Weber dapat dilihat dalam batasan Merton tentang birokrasi. Mengikuti Weber, Merton (1957: 195-196) mengamati beberapa hal berikut di dalam organisasi birokrasi modern:
1.            Birokrasi merupakan struktur sosial yang terorganisir secara rasional dan formal.
2.            Ia meliputi suatu pola kegiatan yang memiliki batas-batas yang jelas.
3.            Kegiatan-kegiatan tersebut secara ideal berhubungan dengan tujuan-tujuan organisasi.
4.            Jabatan-jabatan dalam organisasi diintegrasikan kedalam keseluruhan struktur birokrasi.
5.            Status-status dalam birokrasi tersusun kedalam susunan yang bersifat hirarkis.
6.            Berbagai kewajiban serta hak-hak d dalam birokrasi dibatasi oleh aturan-aturan yang terbatas serta terperinci.
7.            Otoritas pada jabatan, bukan pada orang.
8.            Hubungan-hubungan antara orang-orang diabtasi secara formal.
Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan perbendaharaan yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mengeluh terhadap kenyataan bahwa “sebuah istilah terlalu sering digunakan untuk melambangkan konsep-konsep yang berbeda-beda, seperti halnya dengan konsep yang sama digunakan sebagai simbol dari istilah-istilah yang berbeda”.
Merton mengutip tiga postulat yang dapat di analisa fungsional yaitu sebagai berikut :
1.      Postulat tentang Kesatuan Fungsional masyarakat yang adapt dibatasi sebagai “suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerjasama dalam suatu tingkat keselarasan atau kosistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat dibatasi atau diatur”. Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta”. Sebagai contoh seseorang mengutip beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok (menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.
2.      Postulat Fungsionalisme Universal, berkaitan dengan postulat pertama. Menurut Merton, fungsionalisme universal menganggap bahwa “seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif”. Sebagaimana yang sudah diketahui, Merton memperkenalkan konsep difungsi maupun fungsi positif. Beberapa perilaku sosial jelas bersifat disfungsional. Merton menganjurkan agar elemen-elemen kultural seharusnya dipertimbangkan menurut kriteria keseimbangan konsekuensi-konsekuensi fungsional (bet balance of functional consequences), yang menimbang fungsi positif terhadap fungsi negatif. Sehubungan dengan kasus agama di Irlandia Utara tadi seorang fungsionalis harus mencoba mengkaji fungsi positif maupun negatifnya, dan kemudian menetapkan apakah keseimbangan diantara keduanya lebih menunjuk pada fungsi negatif atau positif.
3.      Postulat Indispensability, ia menyatakan bahwa “dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, obyek materil, dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang ahrus dijalankan, dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan sistem sebagai keseluruhan. Menurut Merton postulat ini masih kabur. Belum jelas apakah fungsi (suatu kebutuhan sosial, seperti reproduksi anggota-anggota baru) atau item (suatu norma, seperti keluarga batih), merupakan suatu keharusan. Merton menulis, pendek kata postulat indispensability sebagaimana yang sering dinyatakan mengandung dua pernyataan yang berkaitan, tetapi dapat dibedakan satu sama lain. Pertama, bahwa ada beberapa fungsi tertentu yang bersifat mutlak dalam penegrtian, bahwa kecuali apabila mereka dijalankan, maka masyarakat (atau kelompok maupun individu) tidak akan ada.
Robert K. Merton mencoba menjelaskan penyimpangan melalui struktur sosial. Menurut teori ini, struktur sosial bukan hanya menghasilkan perilaku yang konformis saja, tetapi juga menghasilkan perilaku menyimpang. Merton mengemukakan tipologi cara-cara adaptasi terhadap situasi, yaitu konformitas, inovasi, ritualisme, pengasingan diri, dan pemberontakan (perilaku menyimpang).
Komformitas, ini merupakan perilaku yang mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut (cara konvensional dan melembaga). Maksudnya adalah cara dijalankan dan ends atau goals juga dijalankan. Contohnya yaitu seorang anak belajar dengan sungguh-sungguh agar nilai ulangannya bagus.
Inovasi, merupakan perilaku mengikuti tujuan yang ditentukan masyarakat, tetapi memakai cara yang dilarang oleh masayarakat (termasuk tindak kriminal). Contohnya yaitu untuk memperoleh Surat Izin Mengemudi (SIM), Erik tidak mengikuti ujian, melainkan melalui calo dan siswa ingin mendapatkan nilai bagus dalam ujian dia melakukan tindakan mencontek atau mencari bocoran jawaban.
Ritualisme adalah perilaku seseorang yang telah meninggalkan tujuan budaya. Namun masih tetap berpegangan pada cara-cara yang telah digariskan masyarakat, dalam arti ritual atau upacara dan perayaan masih diselenggarakan tapi maknanya telah hilang, Contohnya yaitu Mita tidak mempunyai keahlian atau keterampilan di bidang komputer, tetapi Mita terus berusaha untuk mendapatkan ijazah itu agar diterima kerja di perusahaan asing.
Pengunduran/Pengasingan Diri, yaitu meninggalkan, baik tujuan konvensional maupun cara pencapaiannya yang konvensional, sebagaimana yang dilakukan oleh pecandu obat bius, pemabuk, gelandangan maupun orang-orang gagal lainnya. Contohnya yaitu tindakan siswa yang membakar dirinya sendiri karena tidak lulus Ujian Akhir Nasional. Dalam pengasingan diri juga terdapat Retritsm. Orang yang menjalankan retritism adalah Anomi (tidak punya nilai). Retiritism adalah masyarakat tidak mampu memaksa individu untuk melakukan sesuatu. Individu yang teranomi berkumpul, maka akan membentuk suatu kelompok. Yang biasa disebut dengan kelompok belajar.
Pemberontakan (Rebellism), yaitu penarikan diri dari tujuan dan cara-cara konvensional yang disertai dengan upaya untuk melembagakan tujuan dan cara baru, misalnya para reformator agama. Contohnya yaitu pemberontakan G 30S/PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis.
Merton juga mengemukakan mengenai fungsi manifest dan fungsi laten. Fungsi manifest adalah fungsi yang dikehendaki, laten adalah yang tidak dikehendaki. Maka dalam stuktur yang ada, hal-hal yang tidak relevan juga disfungsi laten dipengaruhi secara fungsional dan disfungsional. Merton menunjukan bahwa suatu struktur disfungsional akan selalu ada. Dalam teori ini Merton dikritik oleh Colim Campbell, bahwa pembedaan yang dilakukan Merton dalam fungsi manifest dan laten, menunjukan penjelasan Merton yang begitu kabur dengan berbagari cara. Dalam hal ini, Merton tidak secara tepat mengintegrasikan teori tindakan dengan fungsionalisme. Hal ini, berimplikasi pada ketidakcocokkan antara intersionalitas dengan fungsionalisme structural. Merton terlalu naïf dalam mengedepankan idealismenya tentang struktur dan dengan beraninya dia mengemukakan dia beraliran fungsionalis, tapi dia pun mengkritik akar pemikiran yang mendahuluinya.
Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Parsons dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi subjektif individu dalam perilaku maka Merton menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku. Menurut Merton, konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif yang tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang bersifat fungsional dan ada pula yang bersifat disfungsional.
Anggapan yang demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara pendekatan Robert K. Merton dengan pendekatan fungsionalisme struktural yang lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf Menengah yang ia cetuskan tersebut, merupakan pendekatan yang sesuai untuk meneliti hal-hal yang bersifat kecil atau khusus dan bersifat empiris dalam sosiologi.

·         PHILIP SELZNICK
Philip Selznick lahir di Newark, New Jersey, tahun 1919, ia memperoleh gelar Ph.D dari Universitas Columbia, dan mulai bekerja di Pusat Studi untuk Undang-Undang dan Masyarakat, Barkeley University, dari tahun 1952 sampai tahun 1972. Karya Selznick sangat berpengaruh terhadap teori organisasi institusional baik yang baru maupun lama, old and new institutionalsm. Ia adalah penemu teori institusional Selznick mengemukakan bahwa segala sesuatu yang penting mengenai organisasi adalah perbincangan tentang perangkat-perangkat (tolls) organisasi terhadap bagian yang menghidupkan dirinya. Berdasarkan pemikirannya, ia merumuskan gagasan rasional selanjutnya dalam mendesain organisasi untuk mencapai tujuan yang ternyata menunjukkan bahwa stuktur formal tidak bisa membebaskan diri dari dimensi indvidu.
Selznick menyatakan bahwa individu-individu menciptakan komitmen lainnya terhadap organisasi agar dapat tercapai pengambilan keputusan rasional. Organisasi melakukan tawar-menawar dengan lingkungan dalam hal mencapai tujuan penting atau kemungkinan-kemungkinan masa mendatang. Akhirnya adaptasi struktur organisasi di dasari oleh tindakan individu dan tekanan lingkungan.
Pernyataannya menolak pandangan kebutuhan sistem sebagai tempat pemeliharaan integritas dan keberlangsungan sistem akan terjadi hanya dalam diri sistem itu sendiri. Ia mendetifinisikannya sebagai ‘derived imperative’, antara lain adalah;
1.      Keamanan organisasi dalam lingkungan.
2.      Stabilitas hubungan informal dalam organisasi.
3.      Kesamaan pandangan tentang makna dan aturan organisasi.
Selznick mengarahkan studi organisasi pada masa mendatang lebih berfokus pada keputusan penting yang menyebabkan terjadi perubahan struktur. Ia menemukan bahwa ternyata institusionalisasi adalah proses dimana organisasi mengembangkan karakter struktur secara khusus.
Kontribusinya bagi teori institusional terjadi melalui kesimpulan penilitiannya yang menyatakan bahwa organisasi melakukan proses adopsi dan kooptasi terhadap organisasi lainnya atau lingkungan institusionalnya. Penilitian Selznick difokuskan pada dua hal; pertama, adalah terhadap Lembaga Otorita Lembah Tennesse, bagaimana lembaga tersebut merespons tantangan eksternal. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ternyata lembaga tersebut menciptakan proses kooptasi terhadap organisasi lain dalam merespons hal ini. Kedua, adalah terhadap pengorganisasian Leninist di Soviet, tentang bagaimana perlakuan Lenin terhadap sukarelawan dan agen-agen. Lenin menjalankan tugasnya dengan sangat disiplin. Temuan Selznick menunjukkan bahwa para agen bekerja dengan  disiplin karena adanya proses pendelegasian wewenang yang mengindikasikan adanya proses adopsi dari organisasi lainnya.
Dari kedua hasil penilitiannya, Selznick menyimpulkan bahwa organisasi selalu melakukan proses adopsi terhadap bentuk organisasi lainnya. Temuan Selznick dimuat dalam karyanya dengan judul Istitutionalism ‘Old and New’, dan The Foundation of the Theory of Organization, yang diterbitkan pada tahun 1948. Dalam buku ini Selznick menyatakan bahwa konsekwensi dari dibangunnya sebuah organisasi adalah bagaimana organisasi membentuk aturan dan mejalankannya dalam struktur secara fungsional. Analisis Selznick terhadap struktur fungsional adalah bagaimana struktur secara fungsional dapat menjawab kebutuhan dasar (basic need) dan bagaimana keseluruhan sistem dapat bertahan, serta struktur secara signifikan merupakan pernyataan anggotanya.
Mereka bertindak sesuai pernyataan struktur organisasi. Pandangan Selznick terhadap proses kooptasi atau penyertaan dipahami olehnya sebagai proses penyesuaian sebuah organisasi, baik secara formal maupun informal. Secara formal, pembagian tanggung jawab organisasi dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi. Sementara secara informal kooptasi merupakan proses penyesuaian yang memungkinkan pusat kekuasaan menjadi spesifik dan jelas berada dimana.

Ø  Alvin Gouldner
Dalam membahas sejarah fungsionalisme struktural, Alvin Gouldner (1970: ‎‎138-157) mengingatkan pada pembaca-pembacanya akan lingkungan di mana ‎fungsionalisme aliran Parson berkembang. Walaupun kala itu adalah merupakan masa ‎kegoncangan ekonomi di dalam maupun di luar negeri sebagai akibat dari depresi ‎besar. Teori fungsionalisme Parsons mengungkapkan suatu keyakinan akan perubahan ‎dan kelangsungan sistem. Pada saat depresi kala itu, teorinya merupakan teori sosial ‎yang optimistis. Akan tetapi agaknya optimisme Parson itu dipengaruhi oleh ‎keberhasilan Amerika dalam Perang Dunia II dan kembalinya masa kemewahan ‎setelah depresi yang parah itu. Bagi mereka yang hidup dalam sistem yang ‎kelihatannya galau dan kemudian diikuti oleh pergantian dan perkembangan lebih ‎lanjut maka optimisme teori Parsons dianggap benar. Sebagaimana yang dinyatakan ‎oleh Gouldner (1970: 142): ”untuk melihat masyarakat sebagai sebuah firma, yang ‎dengan jelas memiliki batas-batas srukturalnya, seperti yang dilakukan oleh teori baru ‎Parsons, adalah tidak bertentangan dengan pengalaman kolektif, dengan realitas ‎personal kehidupan sehari-hari yang sama-sama kita miliki”.‎. ‎Coser dan Rosenberg (1976: 490) melihat bahwa kaum fungsionalisme struktural ‎berbeda satu sama lain di dalam mendefinisikan konsep-konsep sosiologi mereka. ‎Sekalipun demikian adalah mungkin untuk memperoleh suatu batasan dari dua konsep ‎kunci berdasarkan atas kebiasaan sosiologis standar. Struktur menunjuk pada ‎seperangkat unit-unit sosial yang relatif stabil dan berpola”, atau ”suatu sistem dengan ‎pola-pola yang relatif abadi”.‎

Selama beberapa dasawarsa, fungsionalisme struktural telah berkuasa sebagai ‎suatu paradigma atau model teoritis yang dominan di dalam sosiologi kontemporer ‎Amerika. Di tahun 1959 Kingsley Davis di dala
Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka yang tidak ‎selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan tetapi paham ini benar-benar ‎berpendapat bahwa sosiologi adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur ‎sosial sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling tergantung m pidato kepemimpinannya di ‎hadapan anggota ”American Sociological Association”, bahkan melangkah lebih jauh ‎dengan menyatakan bahwa fungsionalisme struktural sudah tidak dapat lagi ‎dipisahkan dari sosiologi itu sendiri. Tetapi dalam sepuluh tahun terakhir ini teori ‎fungsionalisme struktural itu semakin banyak mendapat serangan sehingga memaksa ‎para pendukungnya untuk mempertimbangkan kembali pernyataan mereka tentang ‎potensi teori tersebut sebagai teori pemersatu dalam sosiologi.‎

‎2. Pengertian Solidaritas Mekanik Dan Organik‎
a. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang ‎masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya ‎pembagian kerja diantara para anggota kelompok.‎
b. Solidaritas Organik
Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah ‎kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh ‎saling ketergantungan antaranggota.‎

‎3.Konsep Dasar Tentang Anomy‎
Anomie adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk ‎menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa ‎Yunani a-: “tanpa”, dan nomos: “hukum” atau “peraturan”.‎
Macam-macam Anomi itu ada 3‎
‎1.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Individu
‎2.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Masyarakat
‎3.Anomi Sebagai Kekacauan Pada Sastra Dan Film‎

‎1. Anomie sebagai kekacauan pada diri individu‎
Émile Durkheim, sosiolog perintis Prancis abad ke-19 menggunakan kata ini ‎dalam bukunya yang menguraikan sebab-sebab bunuh diri untuk menggambarkan ‎keadaan atau kekacauan dalam diri individu, yang dicirikan oleh ketidakhadiran atau ‎berkurangnya standar atau nilai-nilai, dan perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan yang ‎menyertainya. Anomie sangat umum terjadi apabila masyarakat sekitarnya mengalami ‎perubahan-perubahan yang besar dalam situasi ekonomi, entah semakin baik atau ‎semakin buruk, dan lebih umum lagi ketika ada kesenjangan besar antara teori-teori ‎dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan ‎sehari-hari.‎

Dalam pandangan Durkheim, agama-agama tradisional seringkali memberikan ‎dasar bagi nilai-nilai bersama yang tidak dimiliki oleh individu yang mengalami ‎anomie. Lebih jauh ia berpendapat bahwa pembagian kerja yang banyak terjadi dalam ‎kehidupan ekonomi modern sejak Revolusi Industri menyebabkan individu mengejar ‎tujuan-tujuan yang egois ketimbang kebaikan komunitas yang lebih luas.‎

Robert King Merton juga mengadopsi gagasan tentang anomie dalam ‎karyanya. Ia mendefinisikannya sebagai kesenjangan antara tujuan-tujuan sosial ‎bersama dan cara-cara yang sah untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata ‎lain, individu yang mengalami anomie akan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama ‎dari suatu masyarakat tertentu, namn tidak dapat mencapai tujuan-tujuan tersebut ‎dengan sah karena berbagai keterbatasan sosial. Akibatnya, individu itu akan ‎memperlihatkan perilaku menyimpang untuk memuaskan dirinya sendiri.‎

‎2. Anomie sebagai kekacauan masyarakat‎
Kata ini (kadang-kadang juga dieja “anomy”) telah digunakan untuk ‎masyarakat atau kelompok manusia di dalam suatu masyarakat, yang mengalami ‎kekacauan karena tidak adanya aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ‎ataupun implisit mengenai perilaku yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-‎aturan yang berkuasa dalam meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan ‎bukan kerja sama. Friedrich Hayek dikenal menggunakan kata anomie dengan makna ‎ini.‎

Anomie sebagai kekacauan sosial tidak boleh dikacaukan dengan “anarkhi”. ‎Kata “anarkhi” menunjukkan tidak adanya penguasa, hierarkhi, dan komando, ‎sementara “anomie” menunjukkan tidak adanya aturan, struktur dan organisasi. ‎Banyak penentang anarkhisme mengklaim bahwa anarkhi dengan sendirinya ‎mengakibatkan anomi. Namun hampir semua anarkhis akan mengatakan bahwa ‎komando yang hierarkhis sesungguhnya menciptakan kekacauan, bukan keteraturan ‎‎(lih. misalnya Law of Eristic Escalation). Kamus Webster 1913, sebuah versi yang ‎lebih tua, melaporkan penggunaan kata “anomie” dalam pengertian “ketidakpedulian ‎atau pelanggaran terhadap hukum”.‎

‎3. Anomie dalam sastra dan film‎
Dalam novel eksistensialis karya Albert Camus Orang Asing, tokoh ‎protagonisnya, Mersault bergumul untuk membangun suatu sistem nilai individual ‎sementara ia menanggapi hilangnya system yang lama. Ia berada dalam keadaan ‎anomie, seperti yang terlihat dalam apatismenya yang tampak dalam kalimat-kalimat ‎pembukaannya: “Aujourd’hui, maman est morte. Ou peut-être hier, je ne sais pas.” ‎‎(“Hari ini ibunda meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tak tahu.”) Camus ‎mengungkapkan konflik Mersault dengan struktur nilai yang diberikan oleh agama ‎tradisional dalam suatu dialog hampir pada bagian penutup bukunya dengan seorang ‎pastur Katolik yang berseru, “Apakah engkau ingin hidupku tidak bermakna?”‎

Dostoevsky, yang karyanya seringkali dianggap sebagai pendahulu filosofis ‎bagi eksistensialisme, seringkali mengungkapkan keprihatinan yang sama dalam ‎novel-novelnya. Dalam The Brothers Karamazov, tokoh Dimitri Karamazov bertanya ‎kepada sahabatnya yang ateis, Rakitin, “…tanpa Allah dan kehidupan kekal? Jadi ‎segala sesuatunya sah, mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai?’” ‎Raskolnikov, anti-hero dari novel Dostoevsky Kejahatan dan Hukuman, ‎mengungkapkan filsafatnya ke dalam tindakan ketika ia membunuh seorang juru ‎gadai tua dan saudara perempuannya, dan belakangan merasionalisasikan tindakannya ‎itu kepada dirinya sendiri dengan kata-kata, “… yang kubunuh bukanlah manusia, ‎melainkan sebuah prinsip!”‎

Yang lebih belakangan, protagonis dari film Taxi Driver karya Martin ‎Scorsese dan protagonis dari Fight Club, yang aslinya ditulis oleh Chuck Palahniuk ‎dan belakangan dijadikan film, dapat dikatakan mengalami anomie.‎

  . Chapter 2: THEORETICAL PARADIGMS ON SOCIETY AND SOCIAL BEHAVIOR
  2. Theoretical Paradigms THEORY - Is a statement how and why specific facts are related. - It refers to an organized body of ideas as to the truth of something - Usually derived from study of facts related to it - Sometimes, results from exercising speculative imagination - The branch of a science or art consisting of its explanatory statements, accepted principles, and methods of analysis.
  3. Theoretical Paradigm A basic image of society that guides sociological thinking and research. Example Viewing different dimensions of society. (e.g.:) - 1.) As a stable system - 2.) As a changing system - 3.) As a system in conflict - 4.) As a social interacting system
  4. Four general theoretical paradigms and their proponents 1. The Evolutionary Theory - Proposes that societies undergo different stages in the development cycle and pass through different phases of growth and development, from simple primitive archaic society to complex-modern society - Looks for patterns of change. It offers satisfying explanation how societies come to exist, grow and develop
  5. 2. Structural-Functional Paradigm - Framework for building theory that envisions society as a complex system whose parts works together to promote solidarity and stability. - Views society as an organized network of cooperating groups operating in an orderly manner according to generally accepted social norms. - Members share sets of rules and values and maintains a balance harmonious system. It also recognizes that our lives are guided by social structures.
  6. 2. Structural-Functional Paradigm PROPONENTS: 1. Auguste Comte – stressed social integration 2. Herbert Spencer – “Social Darwinism” (society is a social organism with independent parts performing specific system functions) 3. Talcott Parsons – Society as a social system with basic tasks to perform 4. Emile Durkheim – “mechanical solidarity and organic solidarity” holds society together. 5. Robert Merton – Social Functions (Manifest and Latent) are consequences of social pattern. • Manifest: recognized and intended consequences of social pattern • Latent: largely unrecognized and unintended consequences
  7. 3. The Social-Conflict Paradigm • This is a framework for building theory that envisions society as an arena of inequality that generates conflict and change. • The approach views class conflict and class exploitation as the prime moving force in mankind’s history, and that the struggle for power and wealth as a continuous process between and among categories of people.
  8. The proponents of this approach include: • Karl Marx- stressed class struggles. • W.E.B. Du Bois- pointed out racial conflict ; Racism. • Coser and Dahrendorf- advanced that prejudice and discrimination conflicts with seemingly organized cooperative groups brought about by power relations.
  9. 4. Symbolic-Interaction Paradigm • This paradigm is a theoretical framework that envisions society as the product of the everyday interactions of individuals. • The symbolic-interactions paradigm includes such other approaches as dramaturgy, ethno methodology and social exchange.
  10. The proponents of the symbolic-interactions paradigm includes: • George Herbert Mead(1934)- He believed that our thoughts and feelings are not directly accessible to other people. • W.I. Thomas(1937)- He pointed out that we continuously size up the “here and now” context in which we find ourselves and assign meaning to it. Thomas calls this process the “definition of situation”
  11. The proponents of the symbolic-interactions paradigm includes: • Erving Goffman (1959)- He advanced dramaturgy as a related theory to the symbolic-interactionist paradigm. He views social interaction from the perspective of a theatrical performance. • Harold Garfinkel (1967)- He focused attention on the taken-for-granted routine activities of our daily lives and the understandings that lie behind them. He termed his approach “ethno methodology”
  12. The proponents of the symbolic-interactions paradigm includes: • Peter M. Blau (1964) and George C. Homans (1947) – This theory helps to explain the idea behind the “norm of reciprocity”. Expectations that we should give and return equivalently in our relations with one.
  13. Comparison of the Theoretical Paradigms The different Theoretical paradigms presented by social scientists provide a rich background in understanding a society behavior. However, no particular theory's is sufficient to fully explain the diverse and complex social phenomena. In using the theories as framework for analyzing particular social conditions, one must distinguish which theory would apply to analyze a specific condition. Thus, the eclectic approach seems to be the better and safer way to explain society and social behavior.
  14. MAJOR CONTEMPORARY APPROACHES TO SOCIOLOGICAL THEORY 1. Neo-positivism a. George Lundberg- (1895-1966) Espoused qualification, behaviorism and operationalism. b. Stuart Dodd- (1990) Contributed the S theory as a qualitative systematic theory of society. The symbol S representing situation. Situations are of 4 components; time , space, population, and characteristics. c. George Zipf-(1902-1950)The guiding postulate of his theory is the “principle of least effort”- that is , in situations allowing alternatives, people choose those procedures that result in the “ least average rate of probable work”
  15. d. William Ogburn- (1886-1959) Contributed the “hypothesis or theory of culture lag”- the lag between the adaptive culture ( non material culture) and the more advanced material culture. 2.Human Ecology a. Robert Parks –(1864-1959, American ) Introduce the term human ecology competition as the basic process in human relationships; biotic factors as the proper field of study in human ecology. b. Ernest Burgess – (1886-1996, American) Introduced the Concentric Zones Theory in the development of cities. c. Amos Hawley- His “ecological theory” proposes five ecological processes which bring about changes in the pattern of relationships: concentration expansion or centralization, contraction or decentralization, segregation and conversion
  16. d.Walter Firey- Advanced the socio-cultural ecology; posited the theory that space may have symbolic value; cultural definition and cultural values in the giving of meaning to space. e. Eugene Odum- Advanced the “equilibrium theory” or a balanced development, that is ,maintaining a proper ecological system, His idea is in the line with the concept of sustainable development 3. Sociometry and Microsociology a. Jacob Moreno-(1890-1974),Rumanian) – Chief promoter of sociometry as a theory about the informal structure , includes sociogram; psychodrama and socio-drama b. Robert Bales-(1916)- proponent of microsociology and the study of small groups; developed the method for studying small groups called “interactions process analysis.”
  17. 4. Symbolic-Interactionism • George Herbert Mead – Pioneer of Social Interactionism; social action is seen as symbolic behavior and interaction is based on shared symbolic meanings learned through socialization. • Charles Cooley – “organic theory of society” – the relation of the individual society; developed the concept of “looking-glass self” – the ability to visualize oneself through the eyes of other people. • W.I Thomas – introduced the situational approach or behavioral approach; behavior as conditioned by one’s “definition of the situation”
  18. • Herbert Blumer – theorized that meaning does not inhere in objects but derives from uses people make of objects, he distinguished “definitive concepts” and “sensitizing concepts” • Erving Goffman – posited dramaturgical approach as a special variation of symbolic interactionism 5. Functional Approach • Florian Znaniecki – posited the postulate of universal cultural order which is essential in social comprehension and cultural phenomena.
  19. • Talcott Parsons – posited the “theory of actions”; constructed three analytical systems namely – the social system, the personality system and the cultural system • Robert Merton – made a distinction between “manifest and latent function”, concept of disfunctions – implies the concept of strain, stress and tension of structural level 6. Dialectical Sociology • George Gurvitch – advanced the “hyper emperic dialetics” – the dialectic method grounded in emperical reality; distinction b/n macro and micro sociology
  20. • Luigi Struzo – advanced the “theory of social harmonism” – relationship between society and individual • Ralf Dahrendorf – advanced the “theory of conflict dialectics” • C. Wright Mills – founder of “radical sociology” and the concept of “sociological imagination” • Alvin Gouidner – posited “reflexive sociology” • Lewis Coser – emphasized the “functions of conflict in social life”
  21. 7. Phenomenology Sociology • Alfred Vierkandt - advanced the use of “phenomenological method or “ideational abstraction” • Alfred Schutz – advanced philosophical phenomenology and analysis od “intersubjective consciousness” • Peter Berger and Thomas Luckmann – advanced the Sociology of Knowledge concerned with the “social construction of reality” – common sense knowledge provides a sense of ordered reality in a person’s daily life
  22. 8. Ethno Methodology • Harold Garfinkel – he coined the term “ethno methodology” meaning the study of folk or common sense methods and maintaining social reality’ 9. Sociology of Knowledge • Karl Mannheim – advanced the influence of the entire social situation in shaping beliefs 10. Exchange Theory • George Homans – Developed “psychological exchange theory” which views human interaction as essentially an exchange of rewards and punishments
  23. • Peter Blau – attempted synthesis elements of functional analysis, conflict dialectics and symbol interactionism in individual exchange relationships 11. Developmental Theories • Gunnar Myrdal – studied about the poverty of six Southeast Asian Nations, the Philippine included. • W.W Rostow – “capitalist theory of development” or theory of economic growth • Don Santos – states that underdevelopment of 3rd world countries is a resuly of a capitalistic development known as dependent capitalism
  24. • Andre Frank – advanced the “theory of development of undedevelopment” • Samir Amin – advanced the “unequal development theory” • Immanuel Wallerstein – extended Frank’s dependency theory and proposed a more general theory which he called “world system theory”
  25. 12. Sociology Edward O. Wilson (1975- American) • He advanced the “theory of sociobiology” to explain scientifically the basic reasons behind social phenomena Sociobiology means the systematic study of the biological basis of all social behavior.
  26. 13. Postmodernism - A term usually contrasted with modernity; it designates a new condition which contemporary advanced industrial societies are alleged to have reached. a. b. c. d. Social Cultural Economic Political
  27. Postmodernists include: 1. Foucault says that he only wants to talk about society as a whole when it comes time to destroy it. 2. Baudrillard – If the “social” ever existed as an object of representation, study, or collective action, it no longer does, or else it has been transformed into an object of manipulation. 3. Lyotard develops a richer and more positive conception of politics, justice, and community than most postmodernists.
  28. 4. Bell defines some features of postmodern society; to him, economics is based on a service economy. -Society will give pre-eminence to professional and technical elite and will be based on a reinvigorated meritocracy. - Society will be based on the axial principle: the centrality of theoretical knowledge as the source of innovation and policy formulation. - Central technology and technology assessment will be based on future orientation. - Experts will make decision; an “intellectual technocracy” will emerge.
  29. 14. Contemporary Feminist Theory Patricia M. Langermann and Jill N. Brantly - advocates of feminist theory – that system of general ideas designed to describe and explain social life and human experience from a woman – centered vantage point; the feminist theory posits that women’s location in, and experience of, most situations is different from and unequal to that of men, and in terms of a direct power relationship between men and women, women are oppressed, that is, restrained, subordinated, molded, used and abused by men. Thus, the feminist theory can be classified as a “theory of difference”, or of inequality, or of oppression.
  30. PRESENTED BY Capuso, Czarilyn Fernando, Aviguel Guerta, Daniel Karamihan, Ena Marie Gwyneth Merilles, Lyka Orbe, Joshua

Ø  PETER BLAU
Peter Blau was born in 1918 in Vienna shortly before the fall of the Austro-Hungarian Empire. He was born into a Jewish family as fascist power within Europe grew and Hitler’s influence within Austria became increasingly evident. Hitler’s rise to power and WWII would impact Blau’s life tremendously, claiming family, culture, and nearly his own life. At the age of seventeen, Blau was convicted of high treason for speaking out against government repression in articles he wrote for an underground newspaper of the Socialist Worker’s Party. He was released shortly after his imprisonment when the ban on political activity was lifted due to the National Socialists’ rise to power. When Hitler arrived in Austria in 1938, Blau attempted to escape to Czechoslovakia. Both Blau and his sister—who was sent to England—managed to escape. The rest of his family, however, decided to stay Austria. Blau’s original attempt to flee proved unsuccessful as he was captured by Nazi forces and subjected to torture. Yet, he was once again released and made his way to Prague. With the help of his high school teacher, Blau obtained a travel permit to America in order to study, though he briefly had to occupy a French labor camp due to complications with his visa. He finally arrived in Le Havre, France where he received a refugee scholarship to Elmhurst College in Illinois through an American G.I. Blau emigrated to America in 1939 where he attended Elmhurst College, earning his degree in sociology in 1942, and becoming a United States citizen in 1943. Blau returned to Europe 1942 as a member of the United States Army, acting as an interrogator given his skills in the German language. He was awarded the bronze star for his duties, but it was during this time Blau also received word that his family had been killed at Auschwitz.
Later life
After receiving his bachelor’s degree from Elmhurst College, Blau continued his education at Columbia University, where he received his Ph.D in 1952. One of Blau’s most memorable and significant contributions to the field of sociology came in 1967. Working together with Otis Dudley Duncan and Andrea Tyree, he co-authored The American Occupational Structure, which provided a meaningful sociological contribution to the study of social stratification, and won the highly touted Sorokin Award from the American Sociological Association in 1968. Blau is also known for his contributions to sociological theory. Exchange and Power in Social Life (1964) was an important contribution to contemporary exchange theory, one of Blau's distinguished theoretical orientations. The aim of this work was, "(to analyze) the processes that govern the associations among men as a prolegomenon of a theory of social structure."[1] In it, Blau makes the effort to take micro-level exchange theory and apply it to social structures at a macro-level. Blau was also very active in the study of structural theory. Blau's 1977 book, "Inequality and Homogeneity," presents, "A macrosociological theory of social structure"[2] where the foundation of his theory "is a quantitative conception of social structure in terms of the distributions of people among social positions that affect their social relations."[2]
Blau served as the president of the American Sociological Association from 1973–1974 and through this window was elected to the National Academy of Sciences in 1980. He died on March 12, 2002 of acute respiratory distress syndrome.


Theory
For Blau, sociological theories were produced through logical deduction. Blau began theoretical studies by making a broad statement or basic assumption regarding the social world, which was then proven by the logical predictions it produced.[3] Blau claimed these statements could not be validated or refuted based on one empirical test. Instead, it was a theory's "logical implications" that could be trusted, more so than an empirical test.[3] Only if continued empirical tests contradicted the theory could the theory be modified, or dropped entirely if a new theory was proposed in its place.[3] Blau's trust in logic and his deductive approach to social theory aligns him closely with the philosophy of positivism and traditional French sociologists, Auguste Comte and Émile Durkheim.
Exchange theory
One of Blau's main areas of interest within the complexity of social structures was social interaction. He expressed this interest in the statement, "The main sociological purpose of studying processes of face-to-face interaction is to lay the foundation for an understanding of the social structures that evolve and the emergent social forces that characterize their development."[4] Blau directed his attention to the process of social exchange, which he believed was an enormous influence on human behavior and a governing factor among individual and group relationships.[5] However, rather than deal with exchange theory at its typical small-scale level, Blau attempted to apply it to the societal level. Blau explains that social attraction is what leads to the establishment of social relations, and thus the process of social exchange. The process of exchange can be an equal one, with equal rewards moving from one side to the other, however, when there is an inequality in exchange power differentials are created. A person who is depended upon by others to gain what they need in the process of social exchange holds power over them. If the individual in power adheres by the norms and values of society, such as fairness and reciprocity, those whom depend on him/her can legitimate his/her power with loyalty and compliance. This is where Blau takes his theory to the macro level. From the legitimation of power and compliance of the group, the organization becomes an institutionalized system of exchange values. It is independent of any individual and becomes part of the social structure. Thus, Blau argues that the institutions that make up social structures on a macro-level are spawned from a series of social exchanges at a micro-level that abide by the norms and values of society.
Population structures
Population structures and their relationship with social interaction was another primary interest within Blau's work. Blau believed that population structure created guidelines for specific human behaviors, especially intergroup relations.[6] Blau created a number of theories explaining aspects of population structure that increased chances of intergroup relations. Blau viewed social structure as being somewhat stable, but he did identify two phenomena that he believed contributed to structural change within a population: social mobility and conflict. Blau thought social mobility, which he described as "any movement within a population by an individual," was beneficial to intergroup relations within a population structure, and theorized various scenarios involving social relations and mobility.[6] Blau also theorized explanations for structural causes of conflict, focusing on population distribution as a cause of conflict separate from individual or political issues.[7] According to Blau, structural conflict is linked to the inequality of status of groups, size of group, social mobility between groups, and the probability of social contact between groups. Blau determined that prevention of conflict within a population structure can be achieved through "multigroup affiliations and intersection in complex societies."[7]
Organizational theory
Organizational research consisted in exploring to what extent the received image of the Weberian bureaucracy—an efficient, mechanical system of roles—held up under close scrutiny in the empirical study of social interaction within organizations. Some of Blau’s first major contributions to sociology were in the field of organizations. His first publication, Dynamics of Bureaucracy (1955), prompted a wave of post-Weberian organizational studies. He contributed to this strand of research in many ways. Blau, in his research and study, highlighted the ways in which the real life of the organization was structured along informal channels of interaction and socio-emotional exchange. He also discussed how the incipient status systems formed were important to the continued functioning of these organizations as the formal status structure. Hence, much of Blau’s work involving organizations centered on the interplay between formal structure, informal practices, and bureaucratic pressures and how these processes affect organizational change. Aside from his work on organizational change, Blau’s second major contribution to organizational analysis revolved around the study of determinates of the “bureaucratic components” of organizations. He collected data on 53 Employment Security Agencies in the US and 1,201 local offices. The result of this research was Blau’s (1970) general theory of differentiation in organizations. This piece had an immediate impact in the field of organizations and more



Tidak ada komentar:

Posting Komentar